Feminism Discourse

Saturday, February 24, 2007

Kajian Budaya dari Karya Sastra Karya Penulis Etnis China/Tionghoa pada Jaman Pendudukan Belanda di Indonesia

Catatan Pembuka.
Kajian Cerita Karya Sastra Etnis China/Tionghoa Di Indonesia pada Jaman Pendudukan Kolonial Belanda Sebagai Refleksi atas Pandangan mengenai Kesulitan Berasimiliasi dan Perlakuan Diskriminatif terhadap Perempuan.
Oleh Fanny Syariful Alam


Tahun 2006 semenjak diberlakukannya UU no …tahun 2006 mengenai kewarganegaraan sepintas kita akan melihat kembali masalah-masalah yang berkenaan dengan hal seputar etnis/suku bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia, yang memiliki keanekaragaman suku bangsa yang bahkan dapat dibilang terbanyak di seluruh dunia, masih memiliki kekhawatiran tersendiri mengenai masalah etnis ini. Dan ada masalah klasik yang menjadi perdebatan dari jaman penjajahan kolonial Belanda hingga sekarang, yaitu permasalahan yang dialami etnis suku china/tionghoa di Indonesia. Jaman demi jaman telah dilalui, semakin tinggi peradaban masyarakat Indonesia dalam menyerap teknologi dan pendidikan tidak membuat masalah etnis china/tionghoa selesai begitu saja karena berbagai masalah baru yang sebenarnya timbul sebagai akumulasi masalah yang sudah terjadi sejak jaman dulu kala semakin membuat benang kusut yang terjadi di Negara kita ini.

Seperti satu masalah yang sering diperdebatkan yaitu tentang asimilasi. Indonesia yang terdiri dari beratus ratus suku bangsa juga tidak dapat menghindari masalah asimilasi yang terjadi antar etnis di satu pulau. Berbagai macam kepentingan membuat setiap orang dari berbagi suku bangsa merantau dari satu pulau ke pulau lain sehingga membentuk suatu proses interaksi komunikasi dalam bermasyarakat dengan satu tujuan tertentu antar dua belah pihak. Tidak dapat dihindari pula masalah-masalah yang muncul ke permukaan dalam hal asimilasi ini. Dominasi etnis tertentu di satu daerah sering menimbulkan polemik tersendiri terhadap etnis pendatang (baca: etnis minoritas) dimana pada satu sisi seharusnya setiap etnis bisa saling menerima satu sama lain demi terjadinya kehidupan yang rukun, harmonis, dan saling menguntungkan. Namun yang terjadi adalah semangat chauvinisme yang terlalu diangkat ke permukaan sehingga terjadilah ekslusivisme dalam bermasyarakat yang pada akhirnya berdampak pada pengotakan etnis dan menyebabkan rasa curiga satu sama lain. Ini pula yang terjadi pada etnis china/tionghoa sebagai etnis pendatang di berbagai pulau di Indonesia. Sebagai etnis pendatang terhitung dari jaman kolonial belanda hingga sekarang sangat sulit untuk memetakan kesulitan kesulitan mengapa etnis ini selalu mendapatkan kesulitan untuk berasimilasi atau karena tidak adanya keinginan untuk berasimilasi dengan berbagai macam alasan yang timbul dari faktor internal dan eksternal.

Sejarah menyatakan bahwa pengotakan etnis, terutama etnis china/tionghoa telah terjadi sejak jaman pendudukan belanda dengan pembagian sistem etnis pribumi (penduduk asli Indonesia), etnis pendatang (china/tionghoa, arab), dan etnis penguasa (kolonial belanda) dan sistem ini diberlakukan oleh pemerintah kolonial belanda dengan tujuan yang bersifat komersial karena para etnis pedatang ini mayoritas adalah mereka yang menguasai perekonomian dan memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik daripada etnis pribumi. Secara tersirat pemerintah kolonial belanda memberlakukan peraturan peraturan yang pada akhirnya dapat menimbulkan perlakuan yang diskriminatif terhadap etnis etnis yang ada di negara kita saat itu. Pembatasan pembatasan yang diberlakukan pemerintah saat itu membuat etnis pribumi tidak mampu melakukan apapun kecuali hanya sebagai abdi/budak bagi etnis penguasa serta menjadi pembantu dan masyarakat kelas ketiga setelah etnis pendatang. Etnis pendatang seperti china/tionghoa khususnya diperlakukan sedikit terhormat oleh pemerintah kolonial belanda mengingat masyarakat dari etnis ini merupakan kelas pedagang dengan tingkat ekonomi yang lebih baik dan dapat mendatangkan keuntungan tersendiri terhadap pemerintah saat itu. Kerja sama antar etnis china/tionghoa bersama pemerintah kolonial belanda saat itu mendatangkan keuntungan secara finansial dan secara sosial bagi mereka berdua dan hal ini tentu saja menimbulkan jurang yang lebih lebar antara mereka berdua dan etnis pribumi yang tentu saja jauh lebih terdesak karena posisi mereka yang sangat lemah.

Perempuan menjadi topik yang tidak bisa terlupakan begitu saja dalam tulisan ini. Dalam beberapa karya sastra ini digambarkan betapa perempuan pada masa tersebut, yang terbagi dalam kasta tinggi yang didominasi oleh perempuan etnis china/tionghoa dengan tingkat ekonomi dan pendidikan serta strata sosial yang lebih baik, dan perempuan dari kasta rendahan, yaitu perempuan etnis pribumi, yang tentu saja pada masa itu mengalami tekanan secara ekonomi dan secara pendidikan mereka tidak mendapatkan satu keuntungan apapun dari sistem yang telah ada di sana. Para perempuan, baik dari etnis china/tionghoa dan etnis pribumi, sama sama telah mengalami tingkat diskriminasi perlakuan baik dari keluarganya sendiri dan masyarakat yang telah ada di sana, sehingga apa pun yang akan maupun telah dilakukan oleh perempuan pada masa itu sangat mendapatkan tekanan dan kontrol yang sudah terstruktur oleh keluarga dan norma masyarakat yang berlaku di dalamnya. Apakah kontrol tersebut telah membuat satu kebaikan atau keburukan secara personal maupun sosial bagi perempuan itu sendiri merupakan hal yang harus diterima oleh mereka tanpa pertanyaan yang bersifat menjelaskan mengapa hal hal yang bersifat tekanan dan kontrol tersebut harus diberlakukan kepada para perempuan di masa itu. Perempuan seakan akan kehilangan hak hak individunya untuk memperjuangkan diri mereka dan kepentingan mereka di mata keluarga dan masyarakat saat itu. Hak hak perempuan seakan akan berada di tangan kontrol laki laki yang secara dapat mudah menyetir keinginan dan kepentingan mereka tanpa mempertimbangkan apa yang tergambar dalam pikiran para perempuan saat itu terhadap keputusan yang telah diambil untuk mereka. Pola pola diskriminasi yang terjadi mungkin tidak begitu dirasakan oleh para perempuan kelas menengah dari etnis china/tionghoa namun betapa kental dialami oleh para perempuan etnis pribumi yang kebanyakan dari mereka dipandang lemah secara status dan ekonomi serta tingkat pendidikan sehingga mereka tidak memiliki daya tawar untuk memperjuangkan hak hak individu yang bersifat dasar bahkan untuk kepentingannya sendiri. Perpaduan pola pola diskriminasi terhadap perempuan mana pun saat itu menjadikan karya sastra etnis china/tionghoa ini suatu refleksi yang terjadi pada masa itu dan suatu sumber perbandingan untuk melihat kejadian yang sekarang mengenai pola pola diskriminasi terhadap perempuan yang hingga kini masih terjadi walaupun telah terjadi perubahan yang sangat besar dalam hal pola pikir, tingkat edukasi dan tingkat kemapanan yang ada dalam masyarakat sekarang

Hal hal seperti inilah yang tergambarkan dalam cerita cerita karya sastra penulis cina/tionghoa yang bermukim di Indonesia saat itu. Memang, cerita cerita yang ditulis oleh mereka hanya menitikberatkan pada masalah-masalah yang terjadi yang melibatkan etnis pribumi dan etnis china/tionghoa, karena titik sentralnya adalah bagaimana pertautan dan masalah asimilasi yang muncul dalam kehidupan sehari hari seperti masalah cinta, masalah pekerjaan, serta masalah keluarga yang tampak dominan dalam karya karya sastra yang dimaksud. Fiksi yang diangkat berdasarkan adopsi kehidupan sehari hari menjadikan karya karya tersebut seakan akan membawa kita ke dalam iklim kehidupan yang sebenarnya pada saat itu bahkan dapat merasakannya. Pada masa tertentu saat itu dapat dipetakan masalah asimilasi yang terjadi, yaitu pada segolongan etnis china/tionghoa yang masih meninggikan adat sehingga memang dampaknya kepada etnis pribumi terlihat sebagai bentuk penjajahan kedua. Ada juga segolongan dari mereka yang membuka diri terhadap etnis pribumi, walaupun mereka masih memperkerjakan orang orang dari etnis pribumi sebagai bawahan atau pekerja kasar untuk mereka.

Adat istiadat serta masalah budaya asal etnis china/tionghoa juga dipercaya merupakan hal yang menghambat terjadinya proses asimilasi antar etnis ini dengan etnis pribumi. Setidaknya hal ini terungkap dalam beberapa literatur karya sastra..... Berbaur pula dengan masalah keluarga yang sangat kental dengan masalah budaya dan tradisi menyebabkan pula terjadinya pengorbanan harga diri, pengorbanan fisik dan mental, serta hal hal yang dianggap memalukan dalam lingkup keluarga etnis china/tionghoa. Sisi-sisi oportunis dan ambigu yang jelas jelas terpampang dalam relasi antar etnis china/tionghoa dan pribumi juga terlihat dalam karya sastra....sehingga terkadang perlu untuk mengorbankan harga diri dan perasaan orang-orang etnis pribumi walaupun kejadiannya nampak seperti tidak disengaja.

Menarik untuk menyimak karya karya sastra penulis etnis china/tionghoa di Indonesia jaman pendudukan kolonial belanda karena dapat menjelaskan secara eksplisit pola pola relasi dan asimilasi yang dilakukan oleh etnis china/tionghoa dan pribumi pada masa itu. Bagaimana terjadinya kronik kronik yang mungkin dianggap sepele dalam kehidupan sehari hari namun jika ditelaah lebih jauh maka akan ditemukan suatu pola relasi kebudayaan yang memang secara turun menurun dibawa oleh para keluarga etnis yang bersangkutan. Analisa pola status juga menjadi hal yang sangat sentral ketika akan membahas pola relasi antara etnis china/tionghoa dan etnis pribumi mengetahui bahwa secara legal status, posisi etnis china/tionghoa ini dianggap lebih tinggi dari para penduduk dari etnis pribumi.

Penulis overview ini ingin mengungkapkan sisi sisi subjektivitas dan objektivitas yang berlaku dalam pola relasi masyarakat etnis china/tionghoa dan etnis pribumi sehingga dapat memaparkan dengan jelas masalah masalah yang timbul dalam proses asimilasi pada jaman dulu dan hal apa saja yang masih terbawa hingga saat ini pun masih terlihat kesulitan dan keengganan melakukan asimilasi dengan penduduk lokal walaupun secara status dan kedudukan para penduduk lokal ini juga sudah terlepas dari belenggu kebodohan sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang jauh lebih baik dan layak. Karya sastra yang diteliti di sini merupakan pencerminan kehidupan bermasyarakat dan kehidupan pribadi dalam satu keluarga etnis china/tionghoa pada masa itu yang sekiranya bahkan dapat membawa efek kesulitan untuk melakukan proses asimilasi hingga jaman sekarang. Banyak yang mempersoalkan kesulitan berasimilasi bersandarkan kepada banyaknya peraturan peraturan pemerintah yang memang mendiskriminasi dan membedakan etnis china/tionghoa pada umumnya, namun di sini ada kajian yang memperlihatkan setidaknya bahwa kesulitan berasimilasi dengan etnis pribumi ternyata berkaitan dengan masalah budaya asal yang pada akhirnya membawa kepada chauvinism semu dan jurang yang lebih lebar lagi antara masyarakat etnis china/tionghoa dan etnis pribumi.

Lebih spesifik lagi ketika kita membicarakan diskriminasi perlakuan terhadap perempuan, bahwa memang sebenarnya sangat sulit untuk mengubah pola relasi kebudayaan yang telah berdiri secara mapan yang menggambarkan suatu hal yang wajar jika menganggap perempuan itu sebagai jenis kelamin kedua sehingga tidak perlu adanya pertimbangan dan konsekuensi logis atas setiap keputusan dan perlakuan terhadapnya, namun ketika jaman berkembang dan memungkinkan perempuan untuk mendapatkan status yang lebih baik lagi baik untuk kepentingan dirinya di dalam keluarga dan masyarakat, ada baiknya kita sebagai masyarakat mereka ulang mengenai perlu atau tidaknya berlaku seakan akan diskriminasi merupakan hal yang sudah sangat biasa terjadi dialami oleh perempuan. Terstrukturnya pola diskriminasi yang dilanggengkan oleh budaya yang memang sudah ada membuat para masyarakat luas bertanya tanya apakah hal itu memang wajar terjadi atau perlu dipatahkan sehingga terjadi sistem hidup yang lebih damai, penuh toleransi dan bersepakat mengenai hak dan kewajiban yang memang sudah dimiliki secara kodrati dan bersifat dasar baik untuk perempuan dan laki laki.

Sehingga pada akhirnya ada setitik harapan bahwa adanya rasa pengertian, toleransi, dan empatis yang lebih besar lagi untuk menyikapi masalah asimilasi dan diskriminasi ini. Jika memungkinkan dapat menjadi suatu hal yang signifikan untuk memotong mata rantai permasalahan etnis yang sudah berakar lama, khususnya yang terjadi antara etnis china/tionghoa dan etnis pribumi, karena semua etnis yang ada di negara kita ini merupakan suatu kesatuan dalam lingkup bhineka tunggal ika bernaung dalam satu nama yaitu Indonesia tanpa memandang siapapun jenis kelaminnya untuk sama sama membangun.

Monday, October 30, 2006

Feminism dengan aliran sunnah (terima kasih untuk santi)

Salah satu ikon feminisme Barat, Gloria Steinem, menulis dalam majalah kaum feminis terkemuka Ms. (edisi musim panas 2003), sebuah artikel yang bernostalgia tentang kehidupan manusia primitif Australia berabad lalu. Menurut Steinem kehidupan kaum primitif Australia itu ditandai pembagian kekuasaan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, dan antara manusia dengan alam, karena semuanya adalah bagian dari satu kesatuan yang sama.

Dalam artikel berjudul Remember Our Power (Ingatlah Kekuatan/Kekuasaan Kita) itu Steinem menggambarkan harmoni ketika para kepala suku memang dipilih dari kalangan pria tetapi dengan mendengarkan nasihat kaum wanita. “Semua ini memiliki satu tujuan, keseimbangan, antara pria dan wanita, antara tiap manusia dengan masyarakatnya, antara manusia dan alam– kalau pun memang semuanya itu dianggap terpisah satu sama lain.”

Sungguh kedengaran indah dan harmonis, bukan? Namun bandingkan dengan artikel Steinem di majalah Ms. Oktober 1978 yang berjudul If Men Could Menstruate (Kalau Saja Lelaki Bisa Menstruasi) yang penuh dengan olok-olok tentang betapa apa pun yang melekat pada diri pria akan dijadikannya alasan untuk menancapkan supremasi kekuasaan mereka. Kalau saja lelaki bisa mens, menurut Steinem, maka akan terjadilah male competition tentang misalnya “Saya ganti pembalut 3 kali sehari, Anda berapa?” “Berapa lama Anda mens? Wah, banyakan juga saya!” atau bahkan dijadikannya mens sebagai syarat untuk menjadi tentara (“Anda harus meneteskan darah diri sendiri sebelum meneteskan darah orang lain!”).

Salah satu icon feminisme lainnya adalah Germaine Greer yang sekitar 30 tahun lalu menulis buku terkenal berjudul The Female Eunuch. Dia berargumentasi bahwa menjadi perempuan dan ibu rumah tangga saja tidaklah cukup bagi wanita. Buku ini menjadi semacam kitab suci kaum feminis. Pada tahun 1999 Greer menerbitkan buku barunya, The Whole Woman, yang menggambarkan perjalanan melelahkan kaum feminis dalam upaya mereka memperjuangkan kesetaraan gender.

Greer menggambarkan betapa pada akhir 60-an, yang disebut kebebasan seakan-akan demikian dekat dan dapat dicapai. Pada tahun 1999, yang mereka saksikan adalah semakin memudarnya cita-cita mereka – bukan saja karena negara dan pemerintahan dianggapnya masih terus mempertahankan pola kekuasaan lama, tetapi juga tidak bertambah banyaknya perempuan yang mengadopsi konsep feminisme yang pertama kali diusung di Barat ini. Selain itu, yang terpenting, Greer masih menyoroti apa yang dianggapnya sebagai dominasi pria, tetapi juga tampak mulai menyadari bahwa ada hal-hal yang tak bisa diubah dari spesies yang bernama manusia ini.

Greer menggambarkan betapa sesudah berpuluh tahun gerakan feminisme, gadis-gadis kita masih dijajah oleh konsep “wanita cantik” yang sama – miliaran anak perempuan berdiet keras dan menghabiskan uang untuk kosmetika dan fashion agar menjadi objek seks dan kegairahan pria. Bahkan, menurut Greer, “kebebasan seks yang menyertai revolusi gender malahan lebih sering merugikan wanita.” Apa yang disebut “kebebasan seks” hanya menguntungkan pria, kata Greer, karena wanita terus saja harus merasakan efek terpentingnya yakni kehamilan, sementara tubuh laki-laki sama sekali tidak terpengaruh.

Satu lagi area yang menggambarkan betapa feminisme berpuluh tahun tidak berefek baik pada wanita adalah pornografi. Greer menyoroti betapa sesudah feminisme yang berusaha menjadikan wanita sebagai subjek, industri pornografi yang menghina dan merendahkan wanita dan menjadikannya objek seks terus menggelembung menjadi industri miliaran dolar tiap tahunnya!

Akhirnya Germaine Greer mengakui bahwa berbagai strategi yang dipakai di tahun 1960-an tidaklah membawa hasil yang jelas kalau bukan malahan membawa kerusakan. Yang terjadi saat ini bukanlah pembebasan wanita dari ketertindasan tetapi tidak lebih dari sekedar menggantikan ketergantungan wanita dari satu hal ke hal lainnya. Wanita memberontak dari ketergantungannya terhadap pria di awal gerakan feminisme, terutama di tahun 1970-an, tetapi mereka kini ganti tergantung pada hal-hal lain seperti industri kosmetika dan fashion.

Contoh terakhir adalah satu lagi icon feminisme, perempuan aktivis feminisme dari kalangan Yahudi yang ikut berperan besar dalam penggodokan Plan of Action Konferensi Beijing 1995 yang bernama Bella Abzug. Selama puluhan tahun Bella berada di garis depan kaum feminisme yang menyuarakan kemandirian dan kesamaan hak bagi perempuan di segala lini. Ketika Bill Clinton berkuasa, dia menjadi salah satu pendukung vokal Partai Demokrat. Di belakang wanita yang tampak perkasa ini terdapat Martin, suaminya yang pendiam yang selalu mendukung semua sepak terjangnya. Dalam Ms. 1990, Bella menulis artikel “Martin, What Should I Do Now?” (Martin, Apa yang Harus Kulakukan Kini?) tentang betapa kematian Martin membuatnya bagai kapal kehilangan kemudi.

“Saya memiliki reputasi sebagai seorang perempuan mandiri, dan memang saya mandiri. Tetapi jelaslah sebenarnya saya tergantung pada Martin. Dia sering merengkuhku ke dadanya yang berbulu dan hatinya yang hangat untuk melindungiku dari semua kebusukan yang mesti dialami orang-orang yang hidup di jalanku ini. Apa yang bisa kukatakan? Hanyalah ini, ‘Hargailah hubungan (antarmanusia) dan lakukan apa saja yang bisa kau lakukan untuk memeliharanya’ . Belum lama ini saya bermimpi dan bertanya kepadanya, ‘Martin, Martin, apa yang harus kulakukan sekarang?’ Dia hanya tersenyum lalu menghilang.”

Ketiga ikon feminisme ini, Gloria Steinem, Germaine Greer, dan Bella Abzug, menggambarkan sebuah perubahan besar yang terjadi dalam kurun waktu beberapa dasawarsa, yaitu sebuah pergeseran pemikiran feminisme yang sangat signifikan mengenai posisi mereka dalam relasi gender dan kekuasaan. Diawali gerakan emansipasi di Amerika awal tahun 1900an, ketika wanita menuntut hak dan perlakuan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, kaum feminis menggunakan battle-cry atau teriakan perang yang beragam, mulai dari “persamaan hak”, “persamaan kekuasaan”, “perbedaan pria dan wanita hanyalah soal pengasuhan dan social concepts” sampai kemudian, akhir-akhir ini, kesadaran bahwa perbedaan pria dan wanita memang bersifat biologis dan tidak bisa dielakkan. Pendulum gerakan feminisme mulai berayun ke arah yang berlawanan dengan gerakan di awal-awal lahirnya dulu.

Professor T.J. Winters --yang sesudah Muslim kini bernama Abdal-Hakim Murad (Universitas Cambridge), mencatat bahwa feminisme tahun 1960-an dan 1970-an adalah “feminisme kesejajaran” yang berjuang menghancurkan ketimpangan gender yang menurut mereka semata-mata social constructs yang bisa diubah lewat pendidikan dan media. Sedangkan feminisme tahun 1990-an adalah “feminisme perbedaan” yang berakar pada semakin tumbuhnya kesadaran bahwa faktor alami (nature) itu sama pentingnya dengan faktor pengasuhan (nurture) dalam pembentukan perilaku pria dan wanita.

Kesimpulan Murad dalam artikelnya Boys will be Boys ini adalah bahwa pada akhirnya memang ada faktor-faktor tak terbantahkan yang bertanggungjawab pada perbedan pria dan wanita – dan ini semakin lama semakin diterima oleh para pemikir feminisme.

Berbagai eksperimen untuk membuktikan bahwa PRIA DAN WANITA SERATUS PERSEN SAMA sudah menyebabkan banyak kerugian. Contohnya, ketika pada tahun 1997 pemerintah Inggris memberlakukan “gender free approach” dalam merekrut tentaranya dan memberlakukan ujian fisik yang sama kepada kadet pria dan wanita maka yang terjadi adalah tingkat cedera yang tinggi di kalangan kadet wanita. Dalam Perang Teluk, satu per 10 kru wanita Kapal Perang Amerika USS Acadia dikembalikan karena hamil di perjalanan menuju atau di medan perang, sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan: Nol. Kapal itu kemudian diolok-olok dan diganti namanya menjadi The Love Boat.

Di manakah posisi kaum feminis sekarang di Indonesia, baik yang mengaku feminis Muslim maupun feminis doang? Sama seperti banyak wacana di Indonesia yang kerap kali masih ketinggalan beberapa dasawarsa dari yang berlangsung di Barat, mereka ketinggalan beberapa langkah. Kebanyakan feminis di sini masih menyuarakan gender equality dan ramai memprotes yang mereka sebut “dominasi budaya patriarki”.
Dalam waktu tak lama lagi, insya Allah, perlahan-lahan, mereka pun akan mengalami ayunan pendulum yang sejajar dengan kawan-kawan mereka di Barat. Mungkin lebih cepat karena semakin canggihnya teknologi informasi dan media. Mari mendoakan agar pada akhirnya bukan sekedar berayun ke arah kesadaran baru tentang tidak terbantahkannya perbedaan pria dan wanita, tetapi juga agar mereka sampai pada kesadaran adanya sunnatullah mengenai peran dan posisi wanita dan pria yang justru paling harmonis dengan kehidupan.

wa-akhiru da‘wana ani’l-hamdu li’Llahi rabbi’l-alamin

Jakarta, 22 April 2006

* penulis adalah wartawan senior yang 11 tahun silam meliput Konferensi Wanita Dunia di Beijing

Tuesday, January 10, 2006

Legalisation of abortion in the crossroad

LEGALISATION OF ABORTION IN THE CROSSROAD

By Fanny Syariful Alam

In last May 2005 the issue of Legalisation of abortion began to show up to the surface. Soon lots of various opinions emerged, taking a part as a place for a difference. As we know the issue has always been a debutable statement between the pros and the cons. We mention the pro as the pro choice group meanwhile the cons is stated as the pro life. Eversince the release of the Act of Health no 23/1992 starting that all doctors and medical workers are allowed to be in charge of any action which can save the longing lofe of a mother and a baby, this action somehow leads to the terminology of Abortion, and it caused a significant roar due to the critic telling there is no syhncronization of definition of the abovementioned action to the one figured out in the Indonesia Crime’s Act (KUHP), deriving out the meaning that any act leading to aborting babies (except the action leading to the mother safety, in which this is also debutable still) is considered the criminal part. It is also outlining that all doctors and medical workers involved in this action will be taken into the valid legal suit. And once again, women here are into the unlucky position, they somehow do not have any capacity in bargaining to survive their reproduction right. The right has been taken publicly and they do not know what to do in surviving it.

The problem arising often is that public seem having the right to justify the very personal right of women to be conducted. And it makes any woman be in the complex situation.

So Where are the women now?

Reastically it is not something easily accepted to see any single,not yet married woman to be in pregnancy eventhough maybe it becomes a single personal right from them. When they give a birth the social pressure not only stops here but also continues to be involving seriously to their babies life. Some classical problem occur in accomodating their legal status in their birth letter, schools, and social accepatance futhermore.

Stil when a woman decides to conduct an abortion,even public do not pay an attention for what causes she does it for, there seems to be a huge tendency for them to judge her as a baby murderer, an immoral one and many uncomfortable status come socially.

Again, the personal right becomes a tendency to grow more publicly.

And when the legalisation uproared to the surface, people started to give a hint, critizing that the legalisation only enables women to do abortion more easily. So the general opinion from one side is taken generally and they do not see the essence of the legalisation itself. Do they feel aware of seeing the fact telling that estimatedly 2 million women in indonesia conduct an abortion each year? And 70 % of them is married women? Do they feel noticed that most of them are doing an abortion unmedically even leading to the mortality of both women and babies? Do they feel wary that the longer time to wait for another better regulation conducted by Government here, the more and more women conduct an abortion illegally which it easily leads to the death?

Most of public similiarize the definition of ‘legalisation’ as the part of ‘liberalisation’. Legalisation here is defined that any single action leading to any women abortion will be regulated very carefully, starting from conducting some councelling process, notifying the women’s conditions both physically and mentally and, the councelling process will not determine whether the women should conduct an abortion or not, while Liberalisation is meant to be doing everything freely even without thinking any future consequences occuring after that.

This matter finally will be returned to the women themselves as a decision maker, consequently, they can consider their decision over without feeling guilty.

In some countries where an abortion action is not resticted, the number of women conducting the abortion is even in a sharp decrease. It is because of a significant councelling result which finally gives the women there to think twice before conducting any action.

So , again, conducting an abortion there does not seem as easy as most people see from the cover of the countries.

Legalisation of abortion, eventually, is having a main purpose of tightly regulating the process before and after in conducting any choosen action by women. Creditably, each action is guaranteed medically safe and more convinience due to the role of professional workers over there.

Here the discussion leading to the legalisation of abortion has been into nowhere, eversince there was not any single talk about it,while outside there more women probably find their destiny conducting their own way of abortion which it always turns to be totally risky. And no attention has been derived from public about it.

Anyway, two responsible options are waiting for Indonesia’s public who are said to be very tolerant for any problem (should it be proven or not, let just depend it on everybody). Firstly, if only the legalisation of abortion were on the top to be approved, then what would be prepared is to provide more facilities and professional qualifed people for conducting the determined action taken by women here. The legalisation is somehow expected to give such a learning process for any person including women to be more responsible for their reproduction right and how public take it as a big lesson to support any decision. Secondly, unless the legalisation of abortion were not restricted, then for any person it would be a beginning for them to be tolerant to the women socially and removing all stigma to both women and their babies. If the women decided to continue their pregnancy to the period of giving a birth, then let’s just give them an opportunity to live in a normal social condition without justifying any bad to them, and let them get a normal process in handling the legal status for the birth document, family information, and education.

With this development of time, more people growing with better education and living are expected to show their care to handle this matter. With this development of era, more preachers from any religion class are expected to see this problem regarding to the recent social condition. It is not very necessary anymore to give a negative judgement. Both the legalisation and not later on need a precise solution to think over

Name : fanny Syariful Alam

Age : 29 years old

Sex : male

Occupation : a technical facilitator in an NGO concerning the matter of reproduction health and women empowerment

a moderator of mailing list “sahabatperempuan@yahoogroups.com

Tuesday, December 13, 2005

the pre proposal design

Pre Research Study Proposal for IDRC Scholarship Application
Gender Studies Asian Institute of Technology
Thailand, for the term of August 2006
Composed by Mr Fanny Syariful Alam

“DOMESTIC ABUSE, AS A REFLECTION ON THE RELATION OF CULTURAL ROOT AND A NATURAL ACCEPTANCE ON WOMEN IN INDONESIA”


I. Research Background

The Law no 23/2004 Republic of Indonesia which outlines women’s rights in handling domestic abuse cases has been approved and recorded as the one having a primary purpose that any married woman can pursuit legal actions based on the valid law if any domestic abuse case occurs in their marriage life. The Ministry of Women Empowerment and Affairs of Republic of Indonesia has noted that many of the women as the victim must get a serious attention being covered by the law and any related case will involve the legal apparatus and networks.

It is observed as a big step for women’s history in Indonesia, remembering that along the past periods most of them, experiencing the domestic abuse cases physically, verbally, and mentally even, have always become the marginalized people and have not been able to create an advantageous bargaining power personally, socially and legally. Besides having no any specific law regulating the abuse cases, publics tended to end the cases by committing peace action or divorce between wives and husbands. The Research from one institution (Independent Volunteers network) working in Bandung, West Java, shows that before the issuing of the Law, there were many married women from any class and education background experiencing the domestic violence significantly and technically most of them had not got any idea where to ask for supports and to report the cases categorized as a part of crimes. Generally any type of domestic abuse cases may happen without taking a look if the women come from the class and strata. This information eliminates the premise that the cases only take a part in women in a low-level economy and low education background family.

The Law shows some well planned legal actions for post abuse actions which can be applicable for the women in hope to get much further actions and a legal protection, consequently, any legal process may be applicable to the actors of any domestic abuse cases without interfering and creating such a fear for the women as the victims.

Along with the development and the socialization of the Law no 23/2004, there has been a building of expectation leading to the reduction of the domestic abuse cases levels, yet, the reality in the field proves that the levels increase gradually from the research taken quantitatively, and even some of the cases stay stagnant without any clear solution. This condition even has grown worse by lack of access to the supporting apparatus and network. The unacknowledgement of the women about the type of services offered and the ways of reporting the domestic abuse cases generally still stay high. It is also the matter uncovering the fact that the existence of the Law no 23/2004 is still in a great doubt of the effectiveness regarding to the situation which there are a lot of the cases meeting the dead end or cut off in the middle process. This causes the prediction of some leading factors in accordance with the stagnancy of the Law implementation in field.


II. Leading Factors To The Ineffectiveness of The Law no 23/2004

Briefly there are three major factors of the ineffectiveness of the Law no 23/2004, as follows:
a. Social and culture Factor
b. The Women themselves
c. Lack of socialization and information.

Those factors mentioned above will be described more in Chapter 4 of this thesis. Generally the factors are the prediction why there seems to be the ineffectiveness of the law which ideally may eradicate the levels of the domestic abuse cases.


III. Purpose of Research

The research described in this thesis has a main purpose to analyze further about the three major factors mentioned in part II so that there will be some more applicative solutions for the women as the victims in the domestic abuse cases in hope to get more optimal quality of the service from the law and finally it will lead to the elimination of the domestic abuse cases. It sounds ideal for sure, yet, in the long term it can be achieved by having a solid coordination to do a breakthrough solution to those factors mentioned in part II, having a better coordination for all apparatus and networks to create and maintain any applicative solution for the women.


IV. Research Methodology

The research is conducted in accordance to the qualitative and quantitative survey involving several official data in our region, Bandung, West Java Indonesia, journal and literature studies. This research also involve the result from the discussion from the Focus Group Discussion about the women in domestic abuse and socialization of the Law no 23/2004 which are processed to give more different overview about what has really happened and what it must take as a part of better solutions in the future.

Monday, November 28, 2005

A Reflection in Domestic Abuse to Women In Indonesia

An Abstraction

Indonesia,as one of the biggest countries with 70% population of women, has successfully maintained The Law of Republic of Indonesia no 23/2004 about The Eradication of Domestic Abuse to Women. This law was issued officially by The Ministry of Women Empowerment and Affairs of Republic of Indonesia in hope to minimalize each case of domestic abuse happening often to women as housewives in Indonesia.

This law of eradicating domestic abuse to married women is considered to provide a lot of potential acts which are giving an expectation to put each case of domestic abuse in a legal suit, in the future hope to uncover many hidden domestic cases, consequently, more married women may develop a bargaining power to protect themselves from any type of domestic abuse mentally and physically. Each act in this law outlines some significant definitions regarding to domestic abuse, the specification, the category and the law actions the women can pursuit if any of the cases happens on them principally.

Although this law seems to cover, or at least, to manage any married women's need in having themselves protect or find out any legal action to eliminate any case of domestic abuse, many things are still contradictive due to a fact that there has not been any significant progress emerging after the issuing of the law. One of the principal concerns about this matter is ,that for most women, especially in Indonesia, domestic abuse tends to be " a matter goes natural" because it can be running managably on behalf of their husbands' superiority and love based on the cultural root describing that women, wherever they are, even if they have got married, must obey their husband authority and severly it leads on ongoing domestic abuse on women, no matter how highly educated they are and even many of them are coming not only from the poor class but also the well economy based. The tradition in Indonesia, which is based on the Eastern path, gives a very widely potential way for any husband to do violance on behalf of love and man superiority, sometimes it has a religion background either in liberating to do the abuse on their wives, and this situation is believed not to give any bargaining position strongly to struggle for any married women but any of them tends to accept it.

This thesis finally is expected to figure out the tendency for many married women in Indonesia to accept themselves to be a part of their husbands' superiority, mainly in liberating the domestic abuse as something taken naturally and accepted as well. It also shows the relationship with the condition of the culture in Indonesia specifically. There is a deep worry that the law number 23/2004 will only stay stagnant, be a jargon and an ongoing discourse without any clear, strong respond, and wide awareness from everyone living in Indonesia

Sunday, November 13, 2005

Refleksi..tentang budaya yang dapat mengopresi perempuan...a summary from a talkshow

Memperingati International Women's Day tanggal 8 Maret 2005, Radio Mustika,UNICEF Jawa Barat, Jaringan Mitra Perempuan, International Feminist Agency, dan Toko Buku Ultimus mengadakan talkshow mengenai budaya dan tradisi yang ada relevansinya dengan adanya diskriminasi terhadap perempuan. Talkshow ini menghadirkan Sdr Budi Rajab dari PKBI sebagai Antropolog, Frances dari Bandung Heritage Society, Kirsty dari Bandung International School, dan Natpatong Tai dari Thailand, seorang mahasiswa jurusan bahasa Indonesia di UPI (d/a IKIP Bandung) dengan moderator Sdr Fanny SA dari United Nation Volunteer

Yang akan saya sampaikan disini adalah refleksi, suatu ringkasan mengenai apa saja yang dibahas dalam talkshow dengan harapan adanya suatu pemikiran yang komprehensif mengenai apa yang digagas dalam topik ini, apalagi menyangkut budaya dan tradisi. Apa memang benar budaya dan tradisi yang telah berkembang sejak lama telah memberikan suatu celah yang sedemikian besar untuk menciptakan adanya diskriminasi dan opresi terhadap kaum perempuan, suatu kaum yang telah mengalami sterotype sebagai kaum yang lemah dan tertindas dan selalu berada dalam bayang bayang supremasi kaum lelaki.

Budaya dan tradisi adalah hal yang mencerminkan suatu refleksi akan citra suatu daerah/bangsa bahkan suatu negara. Budaya dan tradisi mencerminkan suatu spesifikasi , ciri khas dari suatu daerah/bangsa sehingga dapat merupakan tatanan hidup yang sangat mungkin mengalami perubahan dari masa ke masa walaupun terdapat banyak sekali usaha usaha untuk mempertahankannya.

Jika melihat pola sistematika budaya dan tradisi di Indonesia yang dikatakan sangat menjaga budaya dan tradisi ketimuran dan juga di negara negara yang lainnya sudah barang tentu kaum lelaki dan perempuan mempunyai andil yang sangat kuat dalam menjaga budaya dan tradisi di masing masing tempat dimana mereka berada. Indonesia yang terdiri atas masyarakat yang sangat plural baik dari segi bahasa, tradisi, sebenarnya merupakan negara yang sangat kaya akan ciri budaya dan tradisi yang tersebar luas di pulau-pulaunya. Dampak kemajuan teknologi dan globalisasi memang merupakan ancaman terbesar atas usaha usaha pelestarian budaya dan tradisi yang hingga saat ini masih terus diperjuangkan oleh layaknya semua pihak yang terlibat.

Budaya dan tradisi yang pada kajian sebelumnya dikategorikan sebagai tatanan hidup/pola hidup suatu bangsa/daerah bahkan suatu negara juga sangat memiliki implikasi yang kuat terhadap peran kaum perempuan, terutama di Indonesia. Sejarah memperlihatkan banyaknya peran perempuan Indonesia dalam usaha usaha pelestarian budaya dan tradisi di tiap daerah mereka tinggal. Yang tinggal sebagai masalah apakah perempuan perempuan di indonesia (dan juga di negara negara lainnya) mengalami penindasan hak dan diskriminasi peran karena budaya dan tradisi yang dianutnya di masing -masing tempat.

Berbicara mengenai masalah penindasan hak dan diskriminasi peran perempuan yang bermula dari tradisi/budaya akan selalu bertautan dengan masalah gender. Yang dituntut oleh kaum perempuan adalah kesetaraan gender, yang sayangnya dalam hal pemaknaannya itu sendiri masih mengalami kekeliruan yang bisa jadi dahsyat sehingga memutarbalikkan pengertiannya itu sendiri. Banyak pula yang menafsirkan kesetaraan gender itu menyamakan laki laki dengan perempuan padahal secara kodrat mereka saling berlawanan. Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antar laki-laki dengan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat yang terbentuk dan dibuat oleh manusia. Jika kembali kepada penelaahan kodrat, maka dalam pemikiran sederhana kodrat perempuan adalah mahluk reproduktif, melahirkan, menyusui sedangkan laki laki adalah mahluk yang membuahi dan kodrat itu datang dari Tuhan sang Pencipta.

Jadi bagaimanakah budaya/tradisi dapat menciptakan suatu pengebirian hak dan diskriminasi peran terhadap perempuan?Mengambil contoh dari Sistem Adat Minangkabau. Ada asumsi bahwa etnis Minangkabau tidak hanya menganut sistem kekerabatan matrilineal tetapi juga matriarkat yang berarti kekuasaan berada di pihak perempuan. Padahal pada kenyataan selanjutnya walaupun sistem matrilineal masih dipertahankan namun sistem kekuasaannya tidak matriarkal, sehingga pada akhirnya kekuasaan formal baik secara tradisional maupun modern tetap dipegang laki laki. Digambarkan bahwa mamak menjadi pemimpin dalam wilayah rumah tangga saruik (satu perut satu ibu), Datuak menjadi pemimpin dalam wilayah kaumnya (satu nenek), penghulu menjadi pemimpin suku (satu nenek moyang) dalam suatu wilayah yang genealogis.Hukum adat Minangkabau menempatkan perempuan sebagai pewris dan pemilik sah harta pusaka namun hampir di semua wilayah sumatera barat terdapat kasus dimana mamak (saudara laki laki dari pihak ibu) mendominasi dan mengambil alih beberapa kewenangan strategis yang secara ideal normatifnya adalah hak perempuan sehingga fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan minangkabau sesungguhnya tidak mempunyai kontrol terhadap sumber daya, seperti tanah dan harta pusaka tinggi lainnya.

Contoh lainnya adalah percaturan kaum perempuan di bidang politik. apakah dengan sistem kuota 30 persen dari kalangan perempuan dapat menjamin hilangnya diskrminasi peran politik perempuan dan diskriminasi peran secara umum dalam kehidupan?Keterwakilan perempuan terbukti hanya untuk membius kaum perempuan itu sendiri dan tidak menjamin secara utuh karena budaya patriaki yang mendiskriminasi perempuan masih sangat kuat. dalam hal politik ini perempuan hanya dimobilisir untuk memberikan suara agar partai politik tertentu dapat memenangkan kekuasaan.

Budaya juga memberikan sumbangan yang besar bagi tatanan hidup sehari hari kaum perempuan. Globalisasi yang telah masuk sebagai sistem pasar bebas diadaptasi oleh banyak negara ditenggarai telah memberikan pengaruh terhadap konstruksi pemikiran bagaimana perempuan harus seperti apa. Secara tidak langsung konstruksi konstruksi pemikiran seperti itu juga telah melanggengkan mulusnya penindasan hak dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dalam kehidupan kaum buruh masih banyak yang tidak mengakui hak cuti hamil dan cuti haid perempuan. dalam kajian pengobatan tradisional, tokoh perempuan semakin didepak dengan masuknya obat obat modern, namun begitu adanya globalisasi maka ilmu yang telah dimiliki secara tradisional tersebut tidak diakui karena penghargaan lebih ditujukan kepada mereka yang lulus perguruan tinggi.

Budaya yang berkembang sebagai tatanan hidup di berbagai negara pun kerap kali membagi peran dan akses perempuan untuk mengerjakan apa yang ia kehendaki secara seksis, yaitu pembagian kerja secara seksual. Pembagian kerja seperti ini yang kerap kali juga dipaksakan memperlihatkan adanya kecenderungan alienasi permpuan untuk menentukan hidupnya. pola semacam ini menutup kaum perempuan duduk berhadapan dengan kaum laki laki untuk membuat kesepakatan bersama dalam membuat pola kerja.

Adanya banyak perlawanan terhadap kasus kasus diskriminasi peran perempuan di semua bidang kehidupan memperlihatkan suatu usaha untuk menghilangkan opresi terhadap hak hak perempuan yang secara stereotype masih dianggp sebagai kaum yang termarginalkan. kembali juga ke masalah budaya yang ditenggarai sebagai pemicu terjadinya diskriminasi peran dan penindasan hak perempuan, masalah budaya ini sebenarnya merupakan masalah konstruksi sosial masyarakat yang terbentuk sedemikian rupa sehingga menghilangkan peran kesetaraan gender dan pada akhirnya menghilangkan peran dan hak kaum perempuan untuk mengambil keputusan yang penting baik untuk diri pribadi maupun umumnya kaum perempuan secara keseluruhan sehingga masih terus diperlukan perjuangan untuk penyelarasan peran secara setara untuk mencapai hak hak dasar perempuan untuk terbebas dari belenggu diskiminasi yang dikuasai oleh budaya patriakis.

Refleksi diambil dari beberapa sumber: 1. Feminist Thought (Rosemary Tong) 2. materi Workshop Pemberdayaan masyarakat Adat :sumatera barat LP2M. 3. Pembicaraan tentang Femninisme VS Neoliberalisme (Institut Perempuan dan Debtwatch) 4. hasil diskusi talkshow tanggal 10 maret 2005 bersama nara sumber yang dsebutkan di atas wacana refleksi di Toko Buku Ultimus bandung

Fanny Syariful Alam

Monday, November 07, 2005

Politik Feminis Untuk Pembebasan Perempuan

POLITIK FEMINIS UNTUK PEMBEBASAN
Suatu Kompilasi dan perenungan

Fanny Syariful Alam

(Terima kasih kpd Mariantte Charmain)


Serangan terhadap hak-hak wanita.

Sejak berlakunya krisis ekonomi berkepanjangan 1970-an pemerintah-pemerintah di seluruh dunia telah mencoba untuk memotong upah dan pekerjaan, pelayanan sosial, dan kesejahteraan publik. Sementara subsidi dan potongan pajak bagi bisnis-bisnis besar terus meningkat .

Hak-hak yang telah dimenagkan oleh pekerja, kelompok-kelompok perempuan, dan pendatang juga diserang. Untuk membenarkan serangan pada pelayanan anak publik, hak perempuan untuk pekerjaan dan pendidikan yang sama , dan pelayanan perempuan, arahan ideologis telah diakselerasikan oleh pemerintah-pemerintah itu untuk mendorong wanita kembali pada peranan istri, ibu dan buruh yang tak dibayar.

Saat ini banyak anak muda tertarik dengan hak-hak perempuan dan ide-ide feminis. Tetapi gerakan yang terorganisisr masih lemah. Kepentingan saja ternyata tak cukup untuk menghentikan agenda anti perempuan . selain beberapa kampanye yang bagus tak ada lagi kampanya yang besar sekarang.

Tanpa melanjutkan aksi ini, kemenagan yang telah diraih akan hilang kembali. Saat ini gerakan berada dalam titik terendah sejak 1970-an, dan kita punya tugas mendesak untuk membangun kembali gerakan itu. Untungnya kita masih punya banyak kemenangan yang akan mempermudah perjuangan itu.

Gerakan itu secara masif menaikkan pengharapan dan kesadaran tentang hak-hak wanita- hal ini masih bisa dicatat pada tingkatan tinggi kesadaran feminis dasar hari ini, meskipun kesadaran ini telah tidur. Kita masih mempunyai banyk reformasi konkrit: hak formal untuk upah yang sama, kesempatan bekerja yang sama, kebebasan dari diskriminasi. Sangat sulit bahkan bagi pemerintahan liberal untuk secara terbuka mengambilnya kembali sekarnag, meskipun jalan juga terbuka bagi mereka untuk melakukannya.


FEMINISME LIBERAL.

Selama tahun 1980-an banyak kepemimpinan gerakan disuap dengan kedudukan-dedudukan dalam birokrasi pemerintah dan akademia (banyak diantaranya baru-dibuat untuk menempati sudut-sudut feminis) yang sering terikat degan pemerintah dinegara-negara maju.

Reformasi feminis yang dipaksakan dari sistem oleh gerakan massa digunakan oleh femisnis-feminis ini untuk menyimpangkan kritisme dari dukungan kuat kepada partai-partai berkuasa . Hal ini menimbulkan sejumlah kebijakan minus mengenai wanita, seperti bayaran untuk pendidikan yang lebih tinggi, pemotongan pekerjan dan serangan pada hak berserikat; menolak untuk mengambil posisi partai dalam hak aborsi; Banyak aktivis feminis dari kelompok yang militan dalam awal gerakan ,menjadi terjebak dalam kerja kesejahteraan yang dibiayai oelh pemerintah dan sering secara politik berkompromi karena ketakutan dananya ditarik.

Keindependenan politik gerakan pembebasan perempuan diragukan. Kaum Femokrat (feminis demokrat) dan politik perempuan secara aktif mendemobolisasi kampanye mengancam kekuatan elektoral partai yang berkuasa (sumber dana mereka dan jalan karir mereka). Dan metode lobi dan perspektif reformis disemangati oleh feminis-feminis ini, yang bekerja untuk mencegah segala pukulan radikal dari buruh, menjadi lebih dan lebih dominan dalam gerakan.

Proses yang sama dalam pemilihan anggota diterapkan pada serikat buruh tahun 1980-an melalui persetujuan harga dan pendapatan. Hal ini kemudian memperlemah gerakan pembebasan perempuan sebagaimana serikat gagal memobilisasi melawan serangan yang lebih luas terhadap persoalan-persoalan seperti hak buruh dan derma.

Hari ini, sementara banyak perempuan masih berbicara tentang hak yang sama dan perlunya organisasi feminis, mereka telah meninggalkan proyek pembangunan gerakan massa pembebasan perempuan yang bertujuan dan mempunyai kekuatan untuk menaikkan kondisi semua perempuan. Dalam praktisnya, mereka mendukung kampanya sepanjang itu tak dapat menentang kepentingan mereka sendiri yang mengalir dari posisi istimewa yang sekarang mereka pegang.

Feminis liberal mempunyai akses yang jauh lebih besar terhadap uang, media dan pembuat keputusan kebijakan publik daripada kelas pekerja perempuan atau orang kiri. Dan keberadaan media massa dan partai politik hanya terlalu bergelora untuk mempromosikan transformasi feminisme dari basis yang luas, gerakan militan melawan penindasan perempuan dan untuk transformasi kolektif masyarakat, kedalam suatu fokus pada hak-hak individu, pencapaian individu dan solusi individu yang sedikit demi sedikit tanpa menantang struktur fundamental atau elit penguasa, akan membuat sedikit perempuan meningkatkan peran mereka dalam mereformasi status quo.

Satu contoh dari perspektif ini adalah buku kedua Naomi Wolf Fire with Fire dimana ia menunjukkan pentingnya "feminisme kekuatan" pada tahun 1990-an. Perempuan sudah "kuat", katanya, karena mereka memegang lebih dari 50 % suara di AS, karena "sekarang ada 2, 339 juta perempuan AS dengan pendapatan pertahun lebih dari $50.000" dan karena mereka menempati 80% pengeluaran konsumen. Kita hanya perlu menghentikan buku Wolf langsung pada keistimewaan yang seperti dirinya sendiri akan diterima kedalam kemapanan pria, bahkan mungkin ke dalam kelas berkuasa sejati, bila mereka memakai "femisisme " mereka .



TANTANGAN TERHADAP FEMINIS LEBERAL

Sejak tahun 1980-an tak ada gerakan terorganisir yang cukup kuat untuk menantang feminisme liberal. Seluruh kampanye besar sebenarnya telah disubordinasikan pada perwakilan untu melobi partai buruh sementara yang lainnya disuruh pulang dan menulis surat.

Pawai dan reli pada hari Perempuan seDunia setiap tahun hanyalah satu-satunya mobilisasi tahunan besar dengan kerangka kerj yang cukup besar untuk merepon setiap serangan terhadap hak-hak perempuan dan menaikkan sejumlah tuntutan.

Tetapi even ini gagal untuk menggambarkan orang pada aksi yang sedang berlangsung. Mereka yang selalu mencoba untuk membangun gerakan bagi pembebasan semua perempuan menemui tantangan besar dari mengambil kepemimpinan gerakan dari feminis liberal.

Perspektif feminis liberal semakin tak berguna dalam menanggapi serangan yang terakselerasi terhadap wanita oleh pemerintah.

Tetapi suatu gerakan yang lemah, terdominasi untuk menantang sernag ideologi dari kelas pengiuasa telah menghasilkan dalam suatu kemurtadan kesadaran feminis umum. Kebutuhan menjadi feminis secara keseluruhan diuji lebih luas, dan iede-ide sexis lebih bisa diterima. Sementara pengakuan ketidaksetaraan perempuamasih cukup tinggi dalam masyarakat, suatu pengertian mengapa ini persoalan dan bagaimana melawannya.

Hal ini membuat banyak perdebatan baru muncul dalam putaran feminis terutama penting dan mendesak. Kita harus mengambil keuntungan dari perjuangan yang masih kita miliki, untuk mendorongnya. Ada diskusi besar diperlukan tentang bagaimana cara melakukannya.



Trend Feminis saat Ini

Diantara mereka yang menolak liberal feminisme sebagai titik akhir untuk perubahan saat ini ada tiga trend besar: Feminisme Marxis, Feminisme Post Modernis dan Feminisme Radikal. Kami, Resistence adalah bagian dari trend yang pertama dan percaya bahwa yang dua lainnya adalah kontraproduktif pada tujuan untuk mendirikan kembali gerakan yang diperlukan untuk mencapai pembebasan perempuan.



Banyak feminis akan mengedepankan suatu campuran pillihan dari pendekatan feminis. Dan banyk feminis masih sangat dipengaruhi oleh individualisme liuberal.Hal ini dikarenakan terutama pembelokan gerakan dan kekuatan konserfatif dominan dalam masyarakat dan secara umum telah membelokkan kepercayaan tentang aksi kolektif dan sebenarnya menjadi mampu untuk merubah sistem yang menindas perempuan.



Marilah kita bahas bersama trend feminisme itu:



Feminisme Marxis

Tak seperti feminisme liberal, feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme hanya dapat membuat "sukses" untuk sejumlah kecil perempuan. Dan sejarahnya ia hanya membuat demikian dibawah tekanan dari bawah. Kesetaraan penuh bagi semua perempuan tak bisa dicapai di bawah kapitalisme. Pembebasan individual adalah mustahil karena seksisme adalah persoalan sosial yang berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan dalam kapitalisme.

Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang berkuasa yang memiliki semua sumber ekonomi dan industri, diluar kita semua yang dipaksa untuk kerja upahan untuk hidup-kelas pekerja. Sistem ini alat untuk kebutuhan minoritas, untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas. Dan setiap institusi besarnya mendukung bahwa: pemerintah, keluarga, media, polisi, sistem pendidikan, dan sistem legal.



Sebenarnya, satu-satunya jalan bagi perempuan, dan semua kaum tertindas untuk memenagkan pembebasan adalah dengan melawan untuk sebuah sistem baru yang demokratik- masyarakat yang berfungsi untuk menemukan kebutuhan mayoritas orang dan lingkungan lebih baik dari minoritas yang haus keuntungan.



Satu-satunya kekuatan yang mampu untuk membuat masyarakat sosialis baru ini adala kelas pekerja, membuat semua kesejahteraan masyarakat. Pertempuran melawan penindasan lain yang memisahkan kelas pekerja-rasisme,seksisme, penindasan bangsa-adalah tak dapat dihindarai untuk menggulingkan kapitalisme karena kelas pekerja yang terbelah tidaklah cukup kuat untuk mengalahkan kelas kapitalis yang sedang berkuasa. Penindasan perempuan adalah bagian yang esensial dari sistem kapitalis.



Seksisme pernah dibenarkan, menopang suatu institusi yang penting bagi kapitalisme:keluarga. Keluarga mengizinkan kelas berkuasa untuk menghapuskan semua tanggung-jawab bagi kesejahteraan ekonomi dan perawatan pekerja mereka dan menimbulkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas dengan mengizinkan pemilikan properti dari satu generasi ke generasi lainnya dalam kelas mereka.



Unit keluarga individual menjaga para pekerja berkompetisi untuk bertahan hidup, mndorong pembagian sosial buruh berdasarkan penaklukan dan ketergantungan ekonomi perempuan, dan membantu untuk mensosialisasikan generasi baru dalam hubungan otoriterian hirarki yang diperlukan untuk membuat kelas pekrja tetap pasif.

Seksisme membuat perempuan bekerja keras mengurusi pekerjaan rumah tangga, semuanya dilakuakn dengan gratis. Ia menyebabkan majikan untuk menggaji perempuan lebih sedikit.



Semua perempuan tertindas sebagai perempuan, tetapi dampak penindasan itu berbeda bagi perempuan pada kelas yang berbeda.



Perjuangan seputar aspek-aspek spesifik dari penindasn perempuan memerlukan terlibatnya perempuan dari latar sosial berbeda. Tetapi gerakan masa pembebasan perempuan Marxis bertujuan untuk mendirikan akan menjadi dasar kelas pekerja dalam komposisi,orientasi, dan kepemimpinan karena hanya sebuah gerakan bisa meraih pembebasan perempuan sejati.



Gerakan feminis massa, yang berjuang bagi kesetaraan bagi semua perempuan, tak dapat dihindarkan lagi membutuhkan reorganisasi total dalam masyarakat dalam kepentingan minoritas, yaitu membuka kapitalisme.



Sebuah gerakan akan menuntut: hak bagi perempuan untuk mengontrol tubuh mereka sendiri: legal penuh, kesamaan politik dan sosial; hak untuk merdeka secara ekonomi dan kesetaraan, kesempatan studi yang setara,hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi, dan bebas dari penindasan seksualitas manusia.



Hanya masyarakat sosialis yang bisa memenuhi tuntutan ini: memindahkan paksaan ekonomi dibalik perbudakan perempuan dalam keluarga; mengambil pertanggung-jawaban sosial bagi tugas-tugas yang tadinya dilakuak dengan gratis oleh perempuan dalam rumah; memindahkan eksploitasi kelas.



Dibawah sosialisme sebagian besar manusia baik perempuan atau laki-laki akan menikmati eliminasi penindasan perempuan sebagaimana masih akan membiarkan perkembangan penuhhubungan kebutuhan manusia bebasa dari distorsi seksisme dan pengasingan seksualitas yang dibuat oleh masyarakat kelas.



Sosialisme juga satu-satunya sistem yang bia meniadakan penindasan lain yang diderita banyak perempuan, seperti rasisme, dan eksploitasi dunia ketiga oleh bangsa imperialis maju. Perempuan tak bisa memenagkan masyarakat baru inni dan pembebasan mereka tanpa bergabung dengan perjuangan pembebasan lain-dan dengan kelas pekerja secara keseluruhan.



Laki-laki sebagai individual maupunkelompok, mempunyaikepentingan material dalam dan menikmati penindasan terhadap perempuan. Sebagai kelamin mereka mempunyai akses yang lebih baik ke pendidikan,pekerjaan dan upah yang lebih baik; mereka tak memikul dua beban kerja upahan dan buruh domestik gratis; karena situasi ekonomi mereka yang lebih baikmereka mempunyai akses seksual terhafdap perempuan, melalui indistri seksual. Penindasan perempuan dalam masyarakat sosial membawa laki-laki menerima keistimewaan yang melembaga dan keuntuntungan terhadap perempuan.



Bagaimanapun penindasan perempuan berjalan memukul kepentingan kelas laki-laki kelas pekerja karena ia memisahkan kelas pekerja dan memperlemah kemampuan mereka untuk nberjuang dan menggulingkan sang penindas, kapitalis.



Tetapi sampai laki-laki kelas pekerja mengembangkan kesadaran kelas-sampai mereka menyadarikepentingan kelas mereka diatas kepentingan mereka sebagai individu, dan karenanya mengerti kebutuhan untuk bergabung dengan kaum feminis bertempur melawan seksisme- mereka akan meletakkan kepentingan mereka sebagai anggota kelas berkuasa dahulu.



Perjuangan Marxis untuk mengembangkan kesadaran ini dalam kelas pekerja karena analisis mereka membawa mereka untuk mengerti bahwa perjuangan oleh perempuan melawan penindas mereka sebagai perempuan dan perjuangan untuk menghilangkan ketidaaksetaran kels berjlan terus.



Tetapi ini bukan berarti bahwa perempuan harus menunda perjuangan mereka sampai "setelah revolusi". Sebalinya hubungan yang erat antara penindasan gender dan kelas memberikan kepada perjuangan sosialisme sebuah perjuangan terpadu juga: "tak ada revolusi sosialis tanpa pembebasan perempuan, tak ada pembebasan perempuan tanpa revolusi sosialis"



FEMINISME POST MODERN

Post modernisme adalah teori yang dihasilkan dari kemunduran dan demoralisasi:

Pelemahan gerakan pembebasan perempuan tahun 1970-an dan kemunduran yang luas dari gerakan kiri di seluruh dunia, setelah runtuhnya "komunisme di eropa timur dan Uni Soviet. Post modernisme adalah bentuk dimana liberalisme menemukan penyewaan baru pada hidup dinegara kapitalis maju sejak akhir 1980-an.



Pada tempat fokus gerakan pertama terhadap pengalaman umum perempuan terhadap penindasan, post modernisme menekankan perbedaan : perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan antara perempuan sendiri, bauk berdasarkan ras, kelas, agama, etnik atau psikologis.

Politik "perbedaan" mempertahankan bahwa karena mereka yang yang telah memimpin atas nama ilmu pengetahuan dan kemajuan di dalam masyarakat ini mempunyai kelompok marginal yang tereksploitasi (termasuk perempuan).



Menentang dirinya sendiri pada "penguniversalan" pengetahuan ilmiah dan pengalaman sejarah, feminisme post modern.

Menentang bahwa semua orang mengamati, mengerti dan merespon segala persoalan secara berbeda. Tak ada yang contoh mutlak dalam masyarakat. Secara khusus, dari kenyataan bahwa daya tangkap manusia dunia melalui perantaraan bahasa, post modernisme telah kenyataan menjadi ribuan pecahan.



Dalam prakteknya ini berarti bahwa setiap orang harus melakukan persoalan mereka sendiri, percaya dan menghargai individualitas dari pengalaman mereka dan ide-ide mereka, dan (seharusnya) menghormati individualitas orang yang lain. Penindasan ekonomi dan psikologi oleh semua perempuan dibagikan oleh semua perempuan keluaran dari keadaan.



Sementara Marxis juga akan bertanya netralitas dari ilmu pengetahuan atau alasan atau kemajuan dibawah kapitalisme, kita berfikir bahwa keadaan realitras objektif, sebagaimana ide-ide dan teori mampu menjelaskan hukum dengan siapa fungsi realitas objektif.Tujuan kita adalahuntuk mengenali dan mempelajari kenyatan ini dalam rangka untuk merubahnya.



Tetapi bagi kaum post modernis, pembebasan itu terpisah dari perjuangan lain untuk merubah masyarakat, dan menjadi perjuangan individual dan subjektif.



Terlebih, setiap seruan pada realitas objektif, termasukpengalaman umum, terlihat sebagai penindasan pandangan personal orang lain. Jadi berbicara penindasan sistematis atau kebutuhan untuk bersatu untuk melawannya disadari tak hanyatak dapat diminta tetapi penindasan.



Post modernisme adalah isu utama perdebatan pada konferensi NOWSA tahun 1994.Sementara banyak orang akan dengan bangga mencap dirinya sendiri sebagai post modernis sekarang, asumsi dasar entang post moderrnisme adalah hidup dalam studi perempuan dan diantara aktivis kampus.



Ide yang tak dapat kamu katakan bagi setiap kelompok yang tertindas bahw kamu bukanlah bagian dari ide bahwa hal yang terpenting untuk kamu lakukan adalah untuk "mendefinisikan"



Ide bahwa lebih penting untuk membicarakan seberapa berbedanya perempuan satu sama lain, dan bagaima perempuan kelas menengah kulit putih mendominasi gerakan, daripada membicarakan pengalaman umum perempuan dan apa yang harus dilakukan tentang itu;dan



Ide tentang bagaimana kmu rasa tentang hal-hal yang kamu lihat atau alami membedakan apakah itu penindasan atau bukan. Mengikuti kesimpulan logikal mereka, ide ini bermaksud bahwa setiapusaha untuk mengenali dan mengerti penindasan perempuan, dan untuk bersatu dan melawannya adalah pasti. Post modernisme mempunyai dampak destruktif ketika mendirikan gerakan melawan penindasan perempuan.



FEMINISME RADIKAL



Feminisme radikal berlawanan dengan individualismenya post modernisme, menawarkan analisis struktural terhadap penindasan perempuan dan solusi sosial-meskipun salah.



Feminiusme radikal mengatakan bahwa sistem dominasi laki-laki terhadap perempuan-apa yang mereka sebut "patriakal"-datang dari perbedaan biologi antara jenis kelamin,khususnya peran perempuan dalam reproduksi .



Perbedan essensial ini, kata mereka adalah basis material dari perempuan selalu dipandang dan diperrlakukan oleh laki-laki sebagai objek sosial.



Karena laki-laki tak mengalami penindasan kelamin, mereka tak akan mungkin mengerti dan secara konsisten berjuang untuk pembebasan perempuan. Dari kenyataan bahwa setiap laki-laki menikmati manfaatdari penindasan perempuan, mereka menyimpulkan bahwa laki-laki adalah sumber penindasan perempuan dan adalah musuh utama laki-laki.



Konklusi logis dari feminisme radikal adalah praktel politik yang terpisah, dimana pria mempunyai sedikit atau tidak peranan untuk dimainkan dalam pembebasan permpuan. Mereka menentang partisipasi laki-laki dalam rally-rally dan konferensi-konferensi menuntut hak perempuan , dan sering mengajukan lesbianisme sebagai seksualitas konsisten secara politik bagi kaum feminis.



Dalam masyarakat kapitalis, seksisme dijustifikasi oleh ide bahwa penindasan perempuan adalah alami atau tak dapat terhindarkan. Halini adalah dalam rangjka untuk menutupi struktur sosial yang menindas perempuan dan menumpulkan gerakan apapun dan merubahnya. Dengan melokalisir sumber penindasan perempuan dalam biologi perempuan dan laki-laki, feminisme radikal menerima ide bahwa seksisme itu tak terhindarkan dan dalam hal ini ia adalah juga politik kekalahan yang mendemoralisasikan gerakan feminis.



Dalam mencari solusi sebagai separatisme ia juga mengisolasi gerakan, baik dengan pengasingan dengan kelompok tertindas lain dan dari massa yang mendukung diantara perempuan.



Feminisme radikal sebagai trend telah ada sejak awal 1970-an, tetapi dalam menghadapi dominasi feminisme liberal dan membelokkan gerakan, ia muncul ke akademia dan studi perempuan. Sebagaimana feminisme liberal gagal untuk menghasilkan kesetaraan feminisme radikal menjelaskan tentang penindasan dan pembebasan perempuan telah dimunculkan kembali dan mempunyai seruan spesial yang mendesak bagi perempuan yang baru teradikalisir..



Karena sebagian besar perempuan langsung mengalami seksisme datang dari tangan laki-laki secara individual, atau karena mereka melihat kaum laki-laki menikmati penindasan perempuan dan status perempuan, ide bahwa pria adalah persoalan tak terhindarkan lagi menjadi kesimpulan bagi para feminis.



Tetapi dengan membangun teori yang secara biologis menunjukkan dominasi pria, feminis radikal gagal untuk menjelaskan karakter sosial penindasn perempuan. Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa kelas pekerja perempuan dan laki-laki mempunyai kepentingan yang sama dalam menggulingkan masyarakat kapitalis.



Sumber: Tong, Rosemary Putnam, 2001, Feminist Thoughts, Pemahaman komprehensif terhadap pemikiran pemikiran feminis, Jalasutra

Jerat Kapitalisme terhadap Perempuan, 2004, RESIST Jawa Tengah