Feminism Discourse

Sunday, November 13, 2005

Refleksi..tentang budaya yang dapat mengopresi perempuan...a summary from a talkshow

Memperingati International Women's Day tanggal 8 Maret 2005, Radio Mustika,UNICEF Jawa Barat, Jaringan Mitra Perempuan, International Feminist Agency, dan Toko Buku Ultimus mengadakan talkshow mengenai budaya dan tradisi yang ada relevansinya dengan adanya diskriminasi terhadap perempuan. Talkshow ini menghadirkan Sdr Budi Rajab dari PKBI sebagai Antropolog, Frances dari Bandung Heritage Society, Kirsty dari Bandung International School, dan Natpatong Tai dari Thailand, seorang mahasiswa jurusan bahasa Indonesia di UPI (d/a IKIP Bandung) dengan moderator Sdr Fanny SA dari United Nation Volunteer

Yang akan saya sampaikan disini adalah refleksi, suatu ringkasan mengenai apa saja yang dibahas dalam talkshow dengan harapan adanya suatu pemikiran yang komprehensif mengenai apa yang digagas dalam topik ini, apalagi menyangkut budaya dan tradisi. Apa memang benar budaya dan tradisi yang telah berkembang sejak lama telah memberikan suatu celah yang sedemikian besar untuk menciptakan adanya diskriminasi dan opresi terhadap kaum perempuan, suatu kaum yang telah mengalami sterotype sebagai kaum yang lemah dan tertindas dan selalu berada dalam bayang bayang supremasi kaum lelaki.

Budaya dan tradisi adalah hal yang mencerminkan suatu refleksi akan citra suatu daerah/bangsa bahkan suatu negara. Budaya dan tradisi mencerminkan suatu spesifikasi , ciri khas dari suatu daerah/bangsa sehingga dapat merupakan tatanan hidup yang sangat mungkin mengalami perubahan dari masa ke masa walaupun terdapat banyak sekali usaha usaha untuk mempertahankannya.

Jika melihat pola sistematika budaya dan tradisi di Indonesia yang dikatakan sangat menjaga budaya dan tradisi ketimuran dan juga di negara negara yang lainnya sudah barang tentu kaum lelaki dan perempuan mempunyai andil yang sangat kuat dalam menjaga budaya dan tradisi di masing masing tempat dimana mereka berada. Indonesia yang terdiri atas masyarakat yang sangat plural baik dari segi bahasa, tradisi, sebenarnya merupakan negara yang sangat kaya akan ciri budaya dan tradisi yang tersebar luas di pulau-pulaunya. Dampak kemajuan teknologi dan globalisasi memang merupakan ancaman terbesar atas usaha usaha pelestarian budaya dan tradisi yang hingga saat ini masih terus diperjuangkan oleh layaknya semua pihak yang terlibat.

Budaya dan tradisi yang pada kajian sebelumnya dikategorikan sebagai tatanan hidup/pola hidup suatu bangsa/daerah bahkan suatu negara juga sangat memiliki implikasi yang kuat terhadap peran kaum perempuan, terutama di Indonesia. Sejarah memperlihatkan banyaknya peran perempuan Indonesia dalam usaha usaha pelestarian budaya dan tradisi di tiap daerah mereka tinggal. Yang tinggal sebagai masalah apakah perempuan perempuan di indonesia (dan juga di negara negara lainnya) mengalami penindasan hak dan diskriminasi peran karena budaya dan tradisi yang dianutnya di masing -masing tempat.

Berbicara mengenai masalah penindasan hak dan diskriminasi peran perempuan yang bermula dari tradisi/budaya akan selalu bertautan dengan masalah gender. Yang dituntut oleh kaum perempuan adalah kesetaraan gender, yang sayangnya dalam hal pemaknaannya itu sendiri masih mengalami kekeliruan yang bisa jadi dahsyat sehingga memutarbalikkan pengertiannya itu sendiri. Banyak pula yang menafsirkan kesetaraan gender itu menyamakan laki laki dengan perempuan padahal secara kodrat mereka saling berlawanan. Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antar laki-laki dengan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat yang terbentuk dan dibuat oleh manusia. Jika kembali kepada penelaahan kodrat, maka dalam pemikiran sederhana kodrat perempuan adalah mahluk reproduktif, melahirkan, menyusui sedangkan laki laki adalah mahluk yang membuahi dan kodrat itu datang dari Tuhan sang Pencipta.

Jadi bagaimanakah budaya/tradisi dapat menciptakan suatu pengebirian hak dan diskriminasi peran terhadap perempuan?Mengambil contoh dari Sistem Adat Minangkabau. Ada asumsi bahwa etnis Minangkabau tidak hanya menganut sistem kekerabatan matrilineal tetapi juga matriarkat yang berarti kekuasaan berada di pihak perempuan. Padahal pada kenyataan selanjutnya walaupun sistem matrilineal masih dipertahankan namun sistem kekuasaannya tidak matriarkal, sehingga pada akhirnya kekuasaan formal baik secara tradisional maupun modern tetap dipegang laki laki. Digambarkan bahwa mamak menjadi pemimpin dalam wilayah rumah tangga saruik (satu perut satu ibu), Datuak menjadi pemimpin dalam wilayah kaumnya (satu nenek), penghulu menjadi pemimpin suku (satu nenek moyang) dalam suatu wilayah yang genealogis.Hukum adat Minangkabau menempatkan perempuan sebagai pewris dan pemilik sah harta pusaka namun hampir di semua wilayah sumatera barat terdapat kasus dimana mamak (saudara laki laki dari pihak ibu) mendominasi dan mengambil alih beberapa kewenangan strategis yang secara ideal normatifnya adalah hak perempuan sehingga fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan minangkabau sesungguhnya tidak mempunyai kontrol terhadap sumber daya, seperti tanah dan harta pusaka tinggi lainnya.

Contoh lainnya adalah percaturan kaum perempuan di bidang politik. apakah dengan sistem kuota 30 persen dari kalangan perempuan dapat menjamin hilangnya diskrminasi peran politik perempuan dan diskriminasi peran secara umum dalam kehidupan?Keterwakilan perempuan terbukti hanya untuk membius kaum perempuan itu sendiri dan tidak menjamin secara utuh karena budaya patriaki yang mendiskriminasi perempuan masih sangat kuat. dalam hal politik ini perempuan hanya dimobilisir untuk memberikan suara agar partai politik tertentu dapat memenangkan kekuasaan.

Budaya juga memberikan sumbangan yang besar bagi tatanan hidup sehari hari kaum perempuan. Globalisasi yang telah masuk sebagai sistem pasar bebas diadaptasi oleh banyak negara ditenggarai telah memberikan pengaruh terhadap konstruksi pemikiran bagaimana perempuan harus seperti apa. Secara tidak langsung konstruksi konstruksi pemikiran seperti itu juga telah melanggengkan mulusnya penindasan hak dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dalam kehidupan kaum buruh masih banyak yang tidak mengakui hak cuti hamil dan cuti haid perempuan. dalam kajian pengobatan tradisional, tokoh perempuan semakin didepak dengan masuknya obat obat modern, namun begitu adanya globalisasi maka ilmu yang telah dimiliki secara tradisional tersebut tidak diakui karena penghargaan lebih ditujukan kepada mereka yang lulus perguruan tinggi.

Budaya yang berkembang sebagai tatanan hidup di berbagai negara pun kerap kali membagi peran dan akses perempuan untuk mengerjakan apa yang ia kehendaki secara seksis, yaitu pembagian kerja secara seksual. Pembagian kerja seperti ini yang kerap kali juga dipaksakan memperlihatkan adanya kecenderungan alienasi permpuan untuk menentukan hidupnya. pola semacam ini menutup kaum perempuan duduk berhadapan dengan kaum laki laki untuk membuat kesepakatan bersama dalam membuat pola kerja.

Adanya banyak perlawanan terhadap kasus kasus diskriminasi peran perempuan di semua bidang kehidupan memperlihatkan suatu usaha untuk menghilangkan opresi terhadap hak hak perempuan yang secara stereotype masih dianggp sebagai kaum yang termarginalkan. kembali juga ke masalah budaya yang ditenggarai sebagai pemicu terjadinya diskriminasi peran dan penindasan hak perempuan, masalah budaya ini sebenarnya merupakan masalah konstruksi sosial masyarakat yang terbentuk sedemikian rupa sehingga menghilangkan peran kesetaraan gender dan pada akhirnya menghilangkan peran dan hak kaum perempuan untuk mengambil keputusan yang penting baik untuk diri pribadi maupun umumnya kaum perempuan secara keseluruhan sehingga masih terus diperlukan perjuangan untuk penyelarasan peran secara setara untuk mencapai hak hak dasar perempuan untuk terbebas dari belenggu diskiminasi yang dikuasai oleh budaya patriakis.

Refleksi diambil dari beberapa sumber: 1. Feminist Thought (Rosemary Tong) 2. materi Workshop Pemberdayaan masyarakat Adat :sumatera barat LP2M. 3. Pembicaraan tentang Femninisme VS Neoliberalisme (Institut Perempuan dan Debtwatch) 4. hasil diskusi talkshow tanggal 10 maret 2005 bersama nara sumber yang dsebutkan di atas wacana refleksi di Toko Buku Ultimus bandung

Fanny Syariful Alam

0 Comments:

Post a Comment

<< Home