Kajian Budaya dari Karya Sastra Karya Penulis Etnis China/Tionghoa pada Jaman Pendudukan Belanda di Indonesia
Catatan Pembuka.
Kajian Cerita Karya Sastra Etnis China/Tionghoa Di Indonesia pada Jaman Pendudukan Kolonial Belanda Sebagai Refleksi atas Pandangan mengenai Kesulitan Berasimiliasi dan Perlakuan Diskriminatif terhadap Perempuan.
Oleh Fanny Syariful Alam
Tahun 2006 semenjak diberlakukannya UU no …tahun 2006 mengenai kewarganegaraan sepintas kita akan melihat kembali masalah-masalah yang berkenaan dengan hal seputar etnis/suku bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia, yang memiliki keanekaragaman suku bangsa yang bahkan dapat dibilang terbanyak di seluruh dunia, masih memiliki kekhawatiran tersendiri mengenai masalah etnis ini. Dan ada masalah klasik yang menjadi perdebatan dari jaman penjajahan kolonial Belanda hingga sekarang, yaitu permasalahan yang dialami etnis suku china/tionghoa di Indonesia. Jaman demi jaman telah dilalui, semakin tinggi peradaban masyarakat Indonesia dalam menyerap teknologi dan pendidikan tidak membuat masalah etnis china/tionghoa selesai begitu saja karena berbagai masalah baru yang sebenarnya timbul sebagai akumulasi masalah yang sudah terjadi sejak jaman dulu kala semakin membuat benang kusut yang terjadi di Negara kita ini.
Seperti satu masalah yang sering diperdebatkan yaitu tentang asimilasi. Indonesia yang terdiri dari beratus ratus suku bangsa juga tidak dapat menghindari masalah asimilasi yang terjadi antar etnis di satu pulau. Berbagai macam kepentingan membuat setiap orang dari berbagi suku bangsa merantau dari satu pulau ke pulau lain sehingga membentuk suatu proses interaksi komunikasi dalam bermasyarakat dengan satu tujuan tertentu antar dua belah pihak. Tidak dapat dihindari pula masalah-masalah yang muncul ke permukaan dalam hal asimilasi ini. Dominasi etnis tertentu di satu daerah sering menimbulkan polemik tersendiri terhadap etnis pendatang (baca: etnis minoritas) dimana pada satu sisi seharusnya setiap etnis bisa saling menerima satu sama lain demi terjadinya kehidupan yang rukun, harmonis, dan saling menguntungkan. Namun yang terjadi adalah semangat chauvinisme yang terlalu diangkat ke permukaan sehingga terjadilah ekslusivisme dalam bermasyarakat yang pada akhirnya berdampak pada pengotakan etnis dan menyebabkan rasa curiga satu sama lain. Ini pula yang terjadi pada etnis china/tionghoa sebagai etnis pendatang di berbagai pulau di Indonesia. Sebagai etnis pendatang terhitung dari jaman kolonial belanda hingga sekarang sangat sulit untuk memetakan kesulitan kesulitan mengapa etnis ini selalu mendapatkan kesulitan untuk berasimilasi atau karena tidak adanya keinginan untuk berasimilasi dengan berbagai macam alasan yang timbul dari faktor internal dan eksternal.
Sejarah menyatakan bahwa pengotakan etnis, terutama etnis china/tionghoa telah terjadi sejak jaman pendudukan belanda dengan pembagian sistem etnis pribumi (penduduk asli Indonesia), etnis pendatang (china/tionghoa, arab), dan etnis penguasa (kolonial belanda) dan sistem ini diberlakukan oleh pemerintah kolonial belanda dengan tujuan yang bersifat komersial karena para etnis pedatang ini mayoritas adalah mereka yang menguasai perekonomian dan memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik daripada etnis pribumi. Secara tersirat pemerintah kolonial belanda memberlakukan peraturan peraturan yang pada akhirnya dapat menimbulkan perlakuan yang diskriminatif terhadap etnis etnis yang ada di negara kita saat itu. Pembatasan pembatasan yang diberlakukan pemerintah saat itu membuat etnis pribumi tidak mampu melakukan apapun kecuali hanya sebagai abdi/budak bagi etnis penguasa serta menjadi pembantu dan masyarakat kelas ketiga setelah etnis pendatang. Etnis pendatang seperti china/tionghoa khususnya diperlakukan sedikit terhormat oleh pemerintah kolonial belanda mengingat masyarakat dari etnis ini merupakan kelas pedagang dengan tingkat ekonomi yang lebih baik dan dapat mendatangkan keuntungan tersendiri terhadap pemerintah saat itu. Kerja sama antar etnis china/tionghoa bersama pemerintah kolonial belanda saat itu mendatangkan keuntungan secara finansial dan secara sosial bagi mereka berdua dan hal ini tentu saja menimbulkan jurang yang lebih lebar antara mereka berdua dan etnis pribumi yang tentu saja jauh lebih terdesak karena posisi mereka yang sangat lemah.
Perempuan menjadi topik yang tidak bisa terlupakan begitu saja dalam tulisan ini. Dalam beberapa karya sastra ini digambarkan betapa perempuan pada masa tersebut, yang terbagi dalam kasta tinggi yang didominasi oleh perempuan etnis china/tionghoa dengan tingkat ekonomi dan pendidikan serta strata sosial yang lebih baik, dan perempuan dari kasta rendahan, yaitu perempuan etnis pribumi, yang tentu saja pada masa itu mengalami tekanan secara ekonomi dan secara pendidikan mereka tidak mendapatkan satu keuntungan apapun dari sistem yang telah ada di sana. Para perempuan, baik dari etnis china/tionghoa dan etnis pribumi, sama sama telah mengalami tingkat diskriminasi perlakuan baik dari keluarganya sendiri dan masyarakat yang telah ada di sana, sehingga apa pun yang akan maupun telah dilakukan oleh perempuan pada masa itu sangat mendapatkan tekanan dan kontrol yang sudah terstruktur oleh keluarga dan norma masyarakat yang berlaku di dalamnya. Apakah kontrol tersebut telah membuat satu kebaikan atau keburukan secara personal maupun sosial bagi perempuan itu sendiri merupakan hal yang harus diterima oleh mereka tanpa pertanyaan yang bersifat menjelaskan mengapa hal hal yang bersifat tekanan dan kontrol tersebut harus diberlakukan kepada para perempuan di masa itu. Perempuan seakan akan kehilangan hak hak individunya untuk memperjuangkan diri mereka dan kepentingan mereka di mata keluarga dan masyarakat saat itu. Hak hak perempuan seakan akan berada di tangan kontrol laki laki yang secara dapat mudah menyetir keinginan dan kepentingan mereka tanpa mempertimbangkan apa yang tergambar dalam pikiran para perempuan saat itu terhadap keputusan yang telah diambil untuk mereka. Pola pola diskriminasi yang terjadi mungkin tidak begitu dirasakan oleh para perempuan kelas menengah dari etnis china/tionghoa namun betapa kental dialami oleh para perempuan etnis pribumi yang kebanyakan dari mereka dipandang lemah secara status dan ekonomi serta tingkat pendidikan sehingga mereka tidak memiliki daya tawar untuk memperjuangkan hak hak individu yang bersifat dasar bahkan untuk kepentingannya sendiri. Perpaduan pola pola diskriminasi terhadap perempuan mana pun saat itu menjadikan karya sastra etnis china/tionghoa ini suatu refleksi yang terjadi pada masa itu dan suatu sumber perbandingan untuk melihat kejadian yang sekarang mengenai pola pola diskriminasi terhadap perempuan yang hingga kini masih terjadi walaupun telah terjadi perubahan yang sangat besar dalam hal pola pikir, tingkat edukasi dan tingkat kemapanan yang ada dalam masyarakat sekarang
Hal hal seperti inilah yang tergambarkan dalam cerita cerita karya sastra penulis cina/tionghoa yang bermukim di Indonesia saat itu. Memang, cerita cerita yang ditulis oleh mereka hanya menitikberatkan pada masalah-masalah yang terjadi yang melibatkan etnis pribumi dan etnis china/tionghoa, karena titik sentralnya adalah bagaimana pertautan dan masalah asimilasi yang muncul dalam kehidupan sehari hari seperti masalah cinta, masalah pekerjaan, serta masalah keluarga yang tampak dominan dalam karya karya sastra yang dimaksud. Fiksi yang diangkat berdasarkan adopsi kehidupan sehari hari menjadikan karya karya tersebut seakan akan membawa kita ke dalam iklim kehidupan yang sebenarnya pada saat itu bahkan dapat merasakannya. Pada masa tertentu saat itu dapat dipetakan masalah asimilasi yang terjadi, yaitu pada segolongan etnis china/tionghoa yang masih meninggikan adat sehingga memang dampaknya kepada etnis pribumi terlihat sebagai bentuk penjajahan kedua. Ada juga segolongan dari mereka yang membuka diri terhadap etnis pribumi, walaupun mereka masih memperkerjakan orang orang dari etnis pribumi sebagai bawahan atau pekerja kasar untuk mereka.
Adat istiadat serta masalah budaya asal etnis china/tionghoa juga dipercaya merupakan hal yang menghambat terjadinya proses asimilasi antar etnis ini dengan etnis pribumi. Setidaknya hal ini terungkap dalam beberapa literatur karya sastra..... Berbaur pula dengan masalah keluarga yang sangat kental dengan masalah budaya dan tradisi menyebabkan pula terjadinya pengorbanan harga diri, pengorbanan fisik dan mental, serta hal hal yang dianggap memalukan dalam lingkup keluarga etnis china/tionghoa. Sisi-sisi oportunis dan ambigu yang jelas jelas terpampang dalam relasi antar etnis china/tionghoa dan pribumi juga terlihat dalam karya sastra....sehingga terkadang perlu untuk mengorbankan harga diri dan perasaan orang-orang etnis pribumi walaupun kejadiannya nampak seperti tidak disengaja.
Menarik untuk menyimak karya karya sastra penulis etnis china/tionghoa di Indonesia jaman pendudukan kolonial belanda karena dapat menjelaskan secara eksplisit pola pola relasi dan asimilasi yang dilakukan oleh etnis china/tionghoa dan pribumi pada masa itu. Bagaimana terjadinya kronik kronik yang mungkin dianggap sepele dalam kehidupan sehari hari namun jika ditelaah lebih jauh maka akan ditemukan suatu pola relasi kebudayaan yang memang secara turun menurun dibawa oleh para keluarga etnis yang bersangkutan. Analisa pola status juga menjadi hal yang sangat sentral ketika akan membahas pola relasi antara etnis china/tionghoa dan etnis pribumi mengetahui bahwa secara legal status, posisi etnis china/tionghoa ini dianggap lebih tinggi dari para penduduk dari etnis pribumi.
Penulis overview ini ingin mengungkapkan sisi sisi subjektivitas dan objektivitas yang berlaku dalam pola relasi masyarakat etnis china/tionghoa dan etnis pribumi sehingga dapat memaparkan dengan jelas masalah masalah yang timbul dalam proses asimilasi pada jaman dulu dan hal apa saja yang masih terbawa hingga saat ini pun masih terlihat kesulitan dan keengganan melakukan asimilasi dengan penduduk lokal walaupun secara status dan kedudukan para penduduk lokal ini juga sudah terlepas dari belenggu kebodohan sehingga mereka dapat menikmati kehidupan yang jauh lebih baik dan layak. Karya sastra yang diteliti di sini merupakan pencerminan kehidupan bermasyarakat dan kehidupan pribadi dalam satu keluarga etnis china/tionghoa pada masa itu yang sekiranya bahkan dapat membawa efek kesulitan untuk melakukan proses asimilasi hingga jaman sekarang. Banyak yang mempersoalkan kesulitan berasimilasi bersandarkan kepada banyaknya peraturan peraturan pemerintah yang memang mendiskriminasi dan membedakan etnis china/tionghoa pada umumnya, namun di sini ada kajian yang memperlihatkan setidaknya bahwa kesulitan berasimilasi dengan etnis pribumi ternyata berkaitan dengan masalah budaya asal yang pada akhirnya membawa kepada chauvinism semu dan jurang yang lebih lebar lagi antara masyarakat etnis china/tionghoa dan etnis pribumi.
Lebih spesifik lagi ketika kita membicarakan diskriminasi perlakuan terhadap perempuan, bahwa memang sebenarnya sangat sulit untuk mengubah pola relasi kebudayaan yang telah berdiri secara mapan yang menggambarkan suatu hal yang wajar jika menganggap perempuan itu sebagai jenis kelamin kedua sehingga tidak perlu adanya pertimbangan dan konsekuensi logis atas setiap keputusan dan perlakuan terhadapnya, namun ketika jaman berkembang dan memungkinkan perempuan untuk mendapatkan status yang lebih baik lagi baik untuk kepentingan dirinya di dalam keluarga dan masyarakat, ada baiknya kita sebagai masyarakat mereka ulang mengenai perlu atau tidaknya berlaku seakan akan diskriminasi merupakan hal yang sudah sangat biasa terjadi dialami oleh perempuan. Terstrukturnya pola diskriminasi yang dilanggengkan oleh budaya yang memang sudah ada membuat para masyarakat luas bertanya tanya apakah hal itu memang wajar terjadi atau perlu dipatahkan sehingga terjadi sistem hidup yang lebih damai, penuh toleransi dan bersepakat mengenai hak dan kewajiban yang memang sudah dimiliki secara kodrati dan bersifat dasar baik untuk perempuan dan laki laki.
Sehingga pada akhirnya ada setitik harapan bahwa adanya rasa pengertian, toleransi, dan empatis yang lebih besar lagi untuk menyikapi masalah asimilasi dan diskriminasi ini. Jika memungkinkan dapat menjadi suatu hal yang signifikan untuk memotong mata rantai permasalahan etnis yang sudah berakar lama, khususnya yang terjadi antara etnis china/tionghoa dan etnis pribumi, karena semua etnis yang ada di negara kita ini merupakan suatu kesatuan dalam lingkup bhineka tunggal ika bernaung dalam satu nama yaitu Indonesia tanpa memandang siapapun jenis kelaminnya untuk sama sama membangun.